Perbedaan Manusia dan Binatang
BAB 1 - Manusia Dan
Binatang
Manusia merupakan sebangsa
binatang. Dia memiliki banyak kesamaan dengan binatang lainnya. Pada saat yang
sama manusia memiliki banyak ciri yang membedakan dirinya dengan binatang
lainnya, dan ciri-ciri ini menempatkannya lebih unggul daripada binatang. Ada
ciri-ciri utama yang mendasar, yang membedakan manusia dengan makhluk hidup
lainnya. Sifat-sifat manusiawi manusia ditentukan oleh ciri-ciri ini. Ciri-ciri
ini, yang juga menjadi sumber dari apa yang dikenal sebagai budaya manusia,
berkaitan dengan dua hal. Yaitu, sikap dan kecenderungan.
Pada umumnya binatang
memiliki kemampuan melihat dan mengenal dirinya sendiri dan dunia sekitarnya.
Dan dengan berbekal pengetahuan yang didapat dari melihat dan mengenal ini,
binatang berupaya mendapatkan apa yang diinginkannya. Seperti binatang lainnya,
manusia juga memiliki banyak keinginan. Dan dengan bekal pengetahuan dan
pengertiannya, manusia berupaya mewujudkan keinginannya. Manusia berbeda dengan
makhluk hidup lainnya. Bedanya adalah manusia lebih tahu, lebih mengerti, dan
lebih tinggi tingkat keinginannya.
Kekhasan ini —yang dimiliki
manusia— membedakan manusia dengan binatang, dan membuat manusia lebih unggul
daripada binatang lainnya.
Pengetahuan dan Keinginan
Binatang
Hanya melalui indera (alat
untuk merasa, mencium bau, mendengar, melihat, meraba, dan merasakan sesuatu
secara naluri—pen.) yang dimiliki, binatang mengenal (mengetahui) dunia. Itulah
sebabnya. Pertama, pengetahuannya dangkal. Pengetahuannya tidak
sampai menguasai detail sesuatu dan tidak memiliki akses ke hubungan-hubungan
internal yang terjadi dalam sesuatu itu. Kedua, pengetahuannya
parsial dan khusus, tidak universal dan tidak umum. Ketiga, pengetahuannya
regional (terbatas pada wilayah tertentu), karena terbatas pada lingkungan
hidupnya dan tidak lebih dari itu. Keempat, pengetahuannya
terbatas pada saat sekarang dan tidak berkenaan dengan masa lalu dan masa
mendatang. Binatang tidak mengetahui sejarahnya sendiri atau sejarah dunia.
Karena itu, binatang tidak berpikir tentang masa depannya, dan juga tidak
merencanakan masa depannya.
Dari segi pengetahuannya,
binatang tak sanggup keluar dari kerangka lahiriahnya, kekhususannya,
lingkungan hidupnya, dan masa sekarangnya. Binatang tak pernah lepas dari
keempat bidang ini. Kalau saja secara kebetulan dapat melewati batas-batas
keempat bidang ini, itu terjadi secara naluriah dan tidak sadar, bukan karena
kehendak dan pilihannya sendiri.
Seperti pengetahuannya,
tingkat keinginan dan hasrat binatang juga terbatas ruang lingkupnya. Pertama,
segenap hasratnya bersifat material, dan tidak lebih dari makan, minum,
tidur, bermain, kawin, dan membuat sarang. Binatang tidak memiliki kebutuhan
spiritual, nilai moral dan sebagainya. Kedua, segenap
keinginannya bersifat pribadi dan individualistis, berkaitan dengan binatang
itu sendiri, atau paling banter berkaitan dengan pasangan dan anak-anaknya.
Ketiga, binatang bersifat regional, yaitu berkaitan dengan lingkungan hidupnya
saja. Keempat, binatang bersifat seketika itu, yaitu berkaitan dengan masa
sekarang.
Dengan kata lain, dimensi
keinginan dan kecenderungan dalam eksistensi binatang ada batasnya, begitu pula
dimensi eksistensi pengetahuannya. Dari sudut pandang ini juga, binatang harus
hidup dalam batas tertentu. Jika binatang mengejar sasaran yang berada di luar
batas ini dan misalnya, yang berkenaan dengan spesiesnya pada umumnya dan bukan
dengan satu individu atau berkenaan dengan masa depan dan bukan dengan masa
kini, sebagaimana terlihat terjadi pada binatang tertentu yang hidup
berkelompok seperti lebah, itu terjadi secara tak sadar, secara naluri, dan
karena aturan langsung dari kekuatan yang telah menciptakannya dan yang
mengatur seluruh alam.
Pengetahuan dan Keinginan
Manusia
Wewenang manusia di bidang
pengetahuannya, informasi dan pandangannya, dan di bidang keinginan dan
kecenderungannya, sangat luas dan tinggi. Pengetahuannya berangkat dari sisi
eksternal sesuatu menuju sisi realitas internal sesuatu itu, saling hubungan
yang terjadi di dalam sesuatu itu, dan menuju hukum yang mengatur sesuatu itu.
Pengetahuan manusia tidak terbatas pada ruang atau waktu tertentu. Pengetahuan
manusia mengatasi batas-batas seperti itu. Di satu pihak, manusia mengetahui peristiwa
yang terjadi sebelum dia lahir, dan di lain pihak manusia bahkan mengetahui
planet-planet selain bumi dan bintang-gemintang. Manusia mengetahui masa lalu
maupun masa depannya. Dia mengetahui sejarahnya sendiri dan sejarah dunia,
yaitu sejarah bumi, langit, gunung, sungai, tumbuhan dan organisme hidup. Yang
menjadi pemikiran manusia bukan saja masa depan yang jauh, namun juga hal-hal
yang tak terhingga dan abadi. Sebagian dari hal-hal ini diketahui oleh manusia.
Manusia bukan sekadar mengetahui keanekaragaman dan kekhasan. Dengan maksud
menguasai alam, manusia mencari tahu tentang hukum alam semesta dan kebenaran
umum yang berlaku di dunia.
Dari sudut pandang ambisi
dan aspirasinya, kedudukan manusia luar biasa, karena dia adalah makhluk yang
idealistis, tinggi cita-cita dan pemikirannya. Sasaran yang juga ingin
dicapainya adalah sasaran yang sifatnya non-material dan tidak mendatangkan
keuntungan material. Sasaran seperti ini adalah sasaran yang menjadi
kepentingan ras manusia seluruhnya, dan tidak terbatas pada dirinya dan
keluarganya saja, atau tidak terbatas pada wilayah tertentu atau waktu tertentu
saja.
Manusia begitu idealistis,
sampai-sampai dia sering lebih menomorsatukan akidah dan ideologinya dan
menomorduakan nilai lain. Dia bahkan menganggap melayani orang lain lebih
penting daripada mewujudkan kesejahteraannya sendiri. Dan manusia memandang
duri yang menusuk kaki orang lain seperti seakan menusuk kakinya sendiri atau
bahkan matanya sendiri. Dia merasa bersimpati kepada orang lain dan mau berbagi
suka dan duka. Manusia begitu penuh dedikasi kepada akidah dan ideologi
sucinya, sampai-sampai dia mudah mengorbankan hidupnya demi akidah dan ideologi
sucinya itu. Segi manusiawi dari budaya manusia yang dianggap sebagai roh
sejati budaya tersebut merupakan hasil dari perasaan dan keinginan seperti itu.
Dasar dari Karakter Manusia
Berkat upaya kolektif
manusia selama berabad-abad, manusia memiliki pengetahuan dan pemahaman yang
luas tentang dunia. Informasi yang didapat kemudian dihimpun dan dikembangkan.
Setelah mengalami proses dan sistematisasi, informasi ini kemudian menjadi
dikenal sebagai "ilmu" dalam artinya yang lebih luas, yaitu jumlah
seluruh gagasan manusia tentang kosmos (alam semesta). Di dalamnya tercakup
juga filsafat, sebuah produk dari upaya kolektif manusia yang diberi bentuk
logika yang khusus.
Kecenderungan spiritual dan
tingginya kesadaran manusia ada karena manusia mempercayai realitas-realitas
tertentu dunia ini, dan karena dedikasinya kepada realitas-realitas tersebut.
Realitas-realitas ini sifatnya bukan individualistis dan juga bukan material.
Sifatnya komprehensif dan umum, di dalamnya tak ada soal keuntungan ekonomi,
dan pada gilirannya merupakan hasil dari pengetahuan dan pemahaman tertentu
mengenai dunia yang disampaikan kepada manusia oleh para nabi, atau dilahirkan
oleh pemikiran idealistis sebagian filosof.
Bagaimanapun juga,
kecenderungan spiritual dan suprahewani lebih tinggi yang ada pada diri
manusia, jika dasarnya adalah infrastruktur doktrinal dan intelektual, memakai
nama agama. Karena itu, kesimpulannya adalah bahwa yang membedakan secara
mendasar antara manusia dan makhluk hidup lainnya adalah pengetahuan dan agama,
dan bahwa pengetahuan dan agama merupakan dasar dari ras manusia, dan ras
manusia ini bergantung pada pengetahuan dan agama.
Sudah banyak dibahas
tentang perbedaan antara manusia dan spesies binatang lainnya. Sebagian
berpandangan bahwa antara manusia dan spesies binatang lainnya itu tak ada
perbedaan yang mendasar. Mereka mengatakan bahwa perbedaan pengetahuan
merupakan perbedaan kuantitas, atau paling banter perbedaan kualitas, namun
bukan perbedaan hakikat. Mereka memandang tidak begitu penting
prestasi-prestasi manusia yang luas dan luar biasa di bidang pengetahuan,
padahal prestasi-prestasi ini menarik perhatian filosof-filosof besar Timur dan
Barat.
Kelompok sarjana ini
mengatakan bahwa dari sudut pandang keinginan dan hasratnya, manusia tak lebih
daripada binatang.[1] Sebagian yang lain percaya bahwa perbedaaan
utamanya adalah perbedaan kehidupan. Manusia adalah satu-satunya binatang yang
sepenuhnya hidup. Binatang yang lain tak memiliki perasaan, dan tak tahu suka
dan duka. Binatang yang lain ini hanyalah mesin-mesin yang setengah hidup.
Karena itu, definisi yang sebenarnya mengenai manusia adalah bahwa manusia
adalah makhluk hidup.[2] Pemikir-pemikir lain tidak
mempercayai itu, dan berpendapat bahwa antara manusia dan makhluk hidup lainnya
itu ada perbedaan yang mendasar. Kelihatannya fokus masing-masing kelompok
sarjana ini adalah satu karakteristik manusia. Itulah sebabnya manusia lalu
didefinisikan dengan begitu banyak cara yang berlainan. Manusia digambarkan
sebagai binatang yang rasional, makhluk yang benar-benar berupaya mendapatkan
apa yang dikehendakinya, makhluk yang tak ada ujungnya, makhluk yang idealis,
makhluk yang mencari nilai-nilai, binatang metafisis, makhluk yang tak pernah
terpuaskan, makhluk yang tak ada batasannya, makhluk yang bertanggung jawab,
makhluk yang berpandangan ke depan, agen (faktor atau instrumen) yang bebas, makhluk
yang memberontak, makhluk yang suka ketertiban sosial, makhluk yang suka
keindahan, makhluk yang suka keadilan, makhluk berwajah ganda, makhluk yang
romantis, makhluk yang intuitif, makhluk yang mempercayai standar ganda,
makhluk yang dapat mencipta, makhluk yang kesepian, makhluk yang memiliki
perhatian kepada publik, makhluk yang fundamentalis, teoretis, dan dapat
membuat peralatan, makhluk supranaturalis, imajinatif, spiritualis,
transendentalis, dan sebagainya.
Tak pelak lagi,
masing-masing keterangan ini benar, dilihat dari kualitas-kualitas esensialnya
masing-masing. Akan tetapi, jika kita mau mendapatkan ungkapan yang mencakup
semua perbedaan mendasarnya, maka harus kita katakan bahwa manusia adalah
binatang yang berpengetahuan dan beragama.
Apakah Sisi Manusiawi
Manusia Itu Suprastruktur
Kita tahu bahwa manusia
adalah sebangsa binatang. Manusia memiliki banyak kesamaan dengan binatang
lainnya. Namun manusia juga memiliki banyak karakteristik khas. Karena memiliki
banyak kesamaan dan perbedaan dengan binatang lainnya, manusia memiliki
kehidupan ganda: Kehidupan binatang dan kehidupan manusia, kehidupan material
dan kehidupan budaya. Di sini timbul pertanyaan: Apa hubungan antara segi
manusiawi manusia dan segi hewaninya, kehidupan manusiawinya dan kehidupan
hewaninya? Apakah nilai penting satu segi adalah esensial, sedangkan segi
lainnya nilai penungnya sekunder? Apakah satu segi menjadi dasarnya, sedangkan
segi lainnya hanyalah refleksi dari segi yang menjadi dasar tersebut? Apakah
satu segi menjadi infrastrukturnya, sedangkan segi lainnya suprastrukturnya?
Apakah kehidupan material merupakan infrastrukturnya, sedangkan kehidupan
budaya merupakan suprastrukturnya? Apakah segi hewani manusia merupakan
infrastrukturnya, sedangkan kehidupan budayanya merupakan suprastrukturnya?
Apakah segi hewani manusia itu infrastrukturnya, sedangkan segi manusiawinya
itu suprastrukturnya?
Dewasa ini, pertanyaan ini
diajukan dari sudut pandang sosiologis dan psikologis. Itulah sebabnya
pembahasannya berkisar di seputar pertanyaan apakah di antara
karakteristik-karakteristik sosial manusia, kecenderungan-kecenderungan
ekonominya yang berkaitan dengan produksi dan hubungan produksi lebih penting
daripada karakteristik-karakteristik lain manusia, khususnya yang mencerminkan
segi manusiawi manusia, dan apakah karakteristik dan kecenderungan lain manusia
hanyalah suprastruktur dari karakter ekonominya? Pertanyaan lain yang juga
berkaitan adalah apakah betul ilmu, filsafat, sastra, agama, hukum, etika, dan
seni pada setiap zaman hanyalah merupakan perwujudan dari hubungan ekonomi pada
zaman itu dan tak memiliki nilai intrinsiknya sendiri?
Sekalipun pertanyaan ini
diajukan dari sudut pandang sosiologis, namun tak pelak lagi pembahasannya
membawa hasil psikologis dan pembahasan filosofis tentang karakter manusia,
yang dalam istilah modern dikenal dengan sebutan "humanisme". Pada
umumnya kesimpulannya adalah bahwa sisi manusiawi manusia tidak penting. Yang
penting adalah sisi hewani manusia saja. Dengan kata lain, yang didukung adalah
pandangan orang-orang yang menyangkal adanya perbedaan mendasar antara manusia
dan binatang.
Teori ini bukan saja
menolak pentingnya kecenderungan manusia kepada realisme, kebajikan, keindahan,
dan kepercayaan kepada Allah, namun juga menolak pentingnya pendekatan rasional
manusia terhadap dunia dan kebenaran. Dapat ditunjukkan bahwa tidak ada pendekatan
yang netral. Tak pelak lagi, setiap pendekatan menunjukkan pandangan material
tertentu. Mengherankan bila sebagian mazhab yang mendukung teori yang
menyebutkan bahwa manusia pada dasarnya adalah binatang, secara serempak mereka
berbicara tentang sisi manusiawi dan humanisme juga.
Fakta bahwa perjalanan
evolusioner manusia berawal dari sisi hewani manusia dan bergerak menuju sisi
manusiawinya, sebuah tujuan yang sangat mulia. Prinsip ini berlaku untuk
individu maupun masyarakat. Pada permulaan eksistensinya, manusia tak lebih
daripada organisme material. Berkat gerakan evolusioner yang mendasar, manusia
berubah menjadi substansi spiritual. Roh (spirit) manusia lahir dalam alam
tubuh manusia, dan kemudian menjadi mandiri. Sisi hewani manusia merupakan sarang
tempat sisi manusiawi manusia berkembang dan matang. Karakteristik evolusi
adalah semakin berkembangnya suatu makhluk, semakin mandiri dan efektiflah dia,
dan dia pun akan semakin mempengaruhi lingkungannya. Ketika sisi manusiawi
manusia berkembang, sebenarnya sisi ini tengah menuju kemandirian dan
mengendalikan aspek-aspek lainnya. Hal ini terjadi pada individu maupun
masyarakat. Individu yang sudah mengalami pengembangan mengendalikan
lingkungan batiniah maupun lahiriahnya. Arti dari perkembangannya adalah bahwa
dia telah merdeka dari dominasi lingkungan batiniah maupun lahiriah, dan
memiliki dedikasi kepada akidah dan agama.
Terjadinya evolusi
masyarakat persis seperti terjadinya evolusi roh dalam alam tubuh, dan evolusi
sisi manusiawi individu dalam alam sisi hewani individunya tersebut.
Perkembangan masyarakat terutama berawal dari dampak sistem ekonomi masyarakat
yang bersangkutan. Aspek budaya dan spiritual masyarakat sinonim dengan jiwa
masyarakat bersangkutan. Karena tubuh dan jiwa saling mempengaruhi satu sama
lain, maka antara sistem spiritual dan material juga terjadi saling hubungan
yang sama. Kalau evolusi individu berarti individu tersebut berjalan menuju
kemerdekaan, kemandirian dan supremasi jiwa yang semakin besar, maka evolusi
masyarakat juga berarti seperti itu pula. Dengan kata lain, kalau suatu
masyarakat semakin berkembang, maka kehidupan budayanya semakin tak bergantung
pada kehidupan materialnya. Manusia masa depan merupakan manusia budaya dan
manusia agama, akidah dan ideologi, bukan manusia ekonomi, manusia yang
mengejar kenikmatan jasmani.
Tentu saja, semua ini bukan
berarti bahwa masyarakat manusia secara tak terelakkan menapaki garis lurus
menuju kesempurnaan nilai-nilai manusiawi, juga bukan berarti bahwa pada setiap
tahap waktu selangkah lebih maju ketimbang tahap waktu sebelumnya. Boleh jadi
manusia melewati tahap kehidupan sosial, di mana meski terjadi kemajuan teknik
dan teknologi namun manusia mengalami kemunduran dari sisi spiritual dan moral,
sebagaimana diklaim dialami oleh manusia pada zaman kita.
Sesungguhnya, dari sudut
pandang material dan spiritual, manusia pada umumnya tengah berjalan ke depan.
Akan tetapi, gerakan spiritualnya tidak selalu di garis yang lurus. Gerakan
tersebut terkadang berhenti, terkadang balik ke belakang, dan terkadang
menyimpang ke kanan dan ke kiri. Namun, pada umumnya merupakan suatu gerakan
evolusioner ke depan. Itulah sebabnya kami katakan bahwa manusia masa depan
merupakan manusia budaya, bukan manusia ekonomi, dan manusia masa depan merupakan
manusia agama, akidah dan ideologi, dan bukan manusia yang mengejar kenikmatan
jasmani.
Menurut teori ini,
aspek-aspek manusiawi pada diri manusia —karena aspek-aspek tersebut
fundamental— berkembang mengikuti berkembangnya alat-alat produksi dan bahkan
berkembang sebelum berkembangnya alat-alat produksi. Menyusul perkembangannya,
aspek-aspek manusiawi manusia berangsur-angsur mengurangi ketergantungan
manusia kepada lingkungan natural dan sosialnya, dan mengurangi kesetujuannya
kepada kondisi lingkungan. Maka kemerdekaan yang didapat membuat manusia
semakin kuat dedikasinya kepada agama dan ideologi, dan meningkatkan
kapasitasnya mempengaruhi lingkungan natural dan sosialnya. Kelak, setelah
memperoleh kemerdekaan seutuhnya, manusia kemudian menjadi semakin kuat
dedikasinya kepada agama dan ideologi.
Di masa lampau, manusia
kurang mendapat manfaat dari pemberian alam dan belum mampu memanfaatkan
sepenuhnya kemampuan-kemampuannya sendiri. Dia menjadi tawanan alam dan tawanan
sisi hewaninya sendiri. Namun di masa depan manusia lebih mampu memanfaatkan
pemberian alam dan kemampuan-kemampuan yang menjadi sifat manusia itu sendiri.
Maka, untuk sebagian besar, manusia akan terbebaskan dari tawanan alam dan
tawanan kecenderungan hewaninya sendiri, dan pengendaliannya atas alam dan
dirinya pun semakin besar.
Menurut pandangan ini,
meskipun realitas manusia muncul bersama dengan alam evolusi material dan
hewaninya, namun realitas ini sama sekali bukan merupakan cermin dari—dan
tunduk kepada—perkembangan materialnya. Itu adalah sebuah realitas yang
independen dan progresif. Sekalipun dipengaruhi oleh aspek material, namun
realitas ini mempengaruhinya juga. Yang menentukan tujuan akhir manusia adalah
evolusi budayanya dan realitas manusiawinya, bukan evolusi alat-alat produksi.
Adalah realitas manusiawi yang dalam evolusinya menyebabkan alat-alat produksi
berkembang bersama berkembangnya urusan lain manusia. Tidak betul bila
perkembangan alat-alat produksi terjadi secara otomatis, dan bila sisi
manusiawi manusia mengalami perubahan akibat berubahnya alat-alat yang mengatur
sistem produksi.¶
0 comments:
Post a Comment